Penyakit Kusta, via halodoc.com |
Indonesia masih belum bebas kusta, bahkan menjadi negara dengan total kasus kusta terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan India. Penderita kusta banyak mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, padahal ada berbagai cara untuk mencegah dan mengobati kusta, terlebih saat pandemi seperti sekarang ini.
Meski sudah ada target Indonesia bebas kusta tahun 2020, namun kenyataanya ada delapan provinsi endemis kusta, diantaranya Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Penyebabnya daerah tersebut sulit dijangkau dan masih tertinggal sehingga kesulitan untuk mengakses informasi.
Selain itu, kusta juga menyerang masyarakat yang tidak mampu dan asupan gizi yang kurang sehingga daya tahan tubuhnya melemah dan mudah terjangkit kusta. Target untuk memberantas kusta di tahun 2020 mendapat tantangan karena pandemi, namun bukan berhenti begitu saja.
Mengenal Kusta
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kusta dapat menyerang kulit, selaput lendir pada saluran pernapasan atas, sistem saraf perifer, serta mata. Kusta dapat menyebabkan luka pada kulit, kerusakan saraf, melemahnya otot, dan mati rasa.
Kusta atau lepra ditandai dengan rasa lemah atau mati rasa di tungkai dan kaki, lalu diikuti munculnya lesi pada kulit. Kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat menyebar lewat percikan ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin.
Seseorang dapat tertular kusta jika kontak dengan penderita dalam waktu yang lama. Seseorang tidak akan tertular oleh penyakit kusta karena bersalaman, duduk bersama, atau hubungan seksual. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya.
Bakteri ini membutuhkan waktu 6 bulan hingga 40 tahun untuk berkembang di dalam tubuh. Tanda dan gejala kusta bisa saja muncul 1 hingga 20 tahun setelah adanya infeksi bakteri pada tubuh penderita.
Bakteri ini dapat tumbuh pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan, wajah, kaki, dan lutut. Apabila terlambat diobati bisa menyebabkan cacat tubuh atau disabilitas, seperti jari membengkok, luka, atau bahkan putus, mata tidak menutup dan kaki melemah.
Faktor Risiko Penyakit Kusta
Ada beberapa faktor risiko yang mengakibatkan seseorang terkena penyakit Kusta, di antaranya:
1. Melakukan kontak fisik dengan hewan penyebar bakteri kusta tanpa memakai sarung tangan
2. Tinggal di daerah endemik kusta
3. Mempunyai kelainan genetik yang berakibat terhadap sistem kekebalan tubuh
Stigma Negatif atau Mitos tentang Kusta
Penyakit Kusta masih ditakuti masyarakat karena dianggap menular dan sulit disembuhkan. Bahkan, orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) terisolir dari dunia luar, padahal penyakit ini bisa dicegah dan diobati jika dilakukan penanganan yang benar.
Ada beberapa stigma negatif atau mitos tentang kusta yang masih dipercayai masyarakat, meski hal tersebut hanya tidak benar. Stigma negatif atau mitos kusta tersebut diantaranya :
1. Kusta adalah sebuah kutukan
Penyakit kusta bukanlah kutukan, karena penyebabnya adalah infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Infeksi bakteri ini ke dalam tubuh melalui permukaan kulit atau lendir saluran pernapasan.
2. Kusta membuat jari kaki dan tangan menghilang
Orang dengan penyakit kusta, biasanya jari tangan dan kaki mereka tidak normal. Hal itu disebabkan infeksi bakteri di bagian jari tangan maupun kaki yang menyebabkan jari tangan maupun kaki menjadi kaku dan akhirnya mati rasa.
3. Kusta mudah menular dan mewabah
Kusta memang bisa menular, tapi penularannya tidak mudah. Jika saat ini seseorang kontak dengan orang yang punya penyakit kusta, 2 sampai 3 tahun bahkan 10 tahun lagi kemungkinan muncul penyakit ini, namun dengan daya tahan tubuh yang kuat, mampu terhindar dari penyakit ini.
4. Kusta tak akan bisa disembuhkan
Kusta bisa disembuhkan meski dalam waktu yang lama dan pengobatan teratur. Biasanya penderita kusta akan mendapatkan antibiotik khusus untuk mematikan bakteri sekitar 6-24 bulan.
5. Penderita kusta harus dikucilkan masyarakat
Dengan berjabat tangan atau melakukan kontak fisik lainnya dengan pemderita kusta, tak akan langsung terkena kusta. Terlebih jika penderita kusta itu sudah melakukan pengobatan, maka penyakitnya sudah tidak menular.
Orang dengan penyakit kusta membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitarnya saat menjalani pengobatan, bukan untuk dikucilkan
6. Kusta hanya bisa menyerang lansia
Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, meskipun usianya masih muda. Namun, memang bakteri penyebab kusta memiliki masa inkubasi yang lama, sehingga baru akan menimbulkan penyakit setelah sekian lama. Jadi, kebanyakan baru terdeteksi ketika sudah memasuki usia yang tidak muda.
Ketahui Pencegahan Penyakit Kusta
Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan? Upaya pencegahan diharapkan bisa menekan penambahan jumlah penderita kusta di Indonesia. Sampai sekarang belum ada vaksin untuk pencegahan kusta.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah komplikasi dan penularan penyakit meluas. Selain itu, hindari juga kontak dengan hewan pembawa bakteri kusta sebagai upaya untuk mencegah kusta.
Pandemi belum juga usai, tetap jalankan prokes seperti memakai masker, jaga jarak, mencuci tangan dengan air mengalir, sabun atau antiseptik pun ikut menurunkan risiko terkena berbagai penyakit, termasuk kusta.
Masyarakat perlu berperan serta untuk menanggungi kusta. Adanya gerakan terpadu dari pemerintah bertujuan untuk memberi pemahaman tentang penyakit kusta pada masyarakat, terutama di daerah endemik.
Hal ini menjadi langkah penting untuk mendorong para penderita agar memeriksakan diri dan mendapatkan pengobatan.
Pemberian informasi ini juga diharapkan dapat membuat masyarakat menjadi lebih paham dan berhenti memberi stigma negatif tentang kusta dan diskriminasi terhadap penderita kusta.
Pada tanggal 31 Mei 2021, saya mengikuti Youtube Live di Ruang Publik KBR yang berkolaborasi dengan NLRI tentang "Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah Pandemi."
Talkshow tentang Kusta, via dokumentasi pribadi |
Tantangan dalam pemberantasan Kusta saat pandemi
Talkshow "Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah Pandemi" ini dibawakan oleh Host Ines Nirmala dan dua orang narsum yaitu Bapak Komarudin, S.Sos,M.Kes dari Wakil Supervisor Kusta Kan Bone dan Bapak DR Rohman Budijanto, SH,MH. dari Direktur Eksekutif The Jawa Post Pro Otonomi JPIP Lembaga Nirlaba Jawa Pos yang bergerak di bidang otonomi daerah.
Geliat Pemberantasan Kusta, Ruang Publik KBR |
Target Indonesia bebas kusta tahun 2020 yang lalu, menjadi tantangan karena ada pandemi Covid-19. Namun, upaya pemberantasan kusta yang mengalami hambatan terkait pandemi ini bukan berarti terhenti.
Ada beberapa program pemerintah yang menjadi target belum terlaksana karena saat pandemi ada larangan untuk pengumpulan masa, meskipun itu untuk penanggulangan penyakit kusta.
Menurut Bapak Komarudin, berdasarkan temuan kasus kusta di Bone pada tahun 2020, jika dibandingkan dengan tahun 2019 terjadi penurunan dari 195 kasus menjadi 140. Terjadi penurunan sebanyak 55 orang atau 28%.
Penurunan karena pandemi ini salah satunya disebabkan pihak dinkes tidak bisa mengadakan kunjungan langsung ke masyarakat karena pandemi. Kemungkinan penemuan kasus pun berkurang.
Upaya deteksi dini penyakit kusta di masyarakat ini mengalami hambatan karena tenaga kesehatan tidak diperbolehkan bertemu masyarakat, terutama di awal pandemi. Namun, program pemberantasan kusta ini harus tetap dilanjutkan dan tak boleh terhenti agar penyebaran penyakit tidak meluas.
Namun, kini para kader atau bidan desa melakukan pendataan langsung ke masyarat dengan memakai APD dan memperhatikan protokol kesehatan. Selanjutnya ditindaklanjuti pihak puskesmas dengan melakukan pemeriksaan pada pasien di rumah, Balai desa atau di Puskesmas.
Prevelensi kusta di tahun ini selama masa pandemi mengalami penurunan menjadi 1.7 % per 10.000 penduduk. Padahal, sebelum pandemi prevelensi kusta ini tidak pernah lebih dari 2 %.
Sepanjang sejarah di Kab Bone selama 20 tahun terakhir prevelensi kusta sebesar 2.5 % per 10.000 penduduk. Kemungkinan penemuan kasus berkurang karena pandemi.
Penularan, deteksi awal, dan penanganan penyakit Kusta
Penularan kusta ini mirip Covid-19, yaitu lewat air liur, sputum atau dahak, droplet, tetapi perbedaannya efek Covid-19 dapat menyerang organ dalam sedangkan kusta kondisi fisiknya lebih terlihat sehingga mudah diidentifikasi.
Program kerja Pemerintah Bone untuk pemberantasan kusta ini bekerja sama dengan pihak puskesmas, diantaranya :
1. Pemberian obat kusta Kemoprofilaksis
2. Pemeriksaan penderita kusta secara berkelanjutan
3. Survei atau pemeriksaan anak di sekolah
4. Kampanye tentang eliminasi kusta yang melibatkan kader juga bidan desa.
Deteksi awal gejala kusta biasanya sulit untuk ditemukan, namun saat adanya kelainan kulit, dilakukan pemeriksaan untuk memastikan diagnosis kusta.
Tidak ada kebiasaan yang bisa menyebabkan kusta tetapi penularan kusta terjadi karena adanya penderita kusta yang tidak atau terlambat berobat yang berpotensi menularkan pada keluarga maupun tetangga.
Berdasarkan survei, dari 100 orang ternyata 95 % tidak mudah terkena kusta, sedangkan yang 5%, terjangkit kusta.
Penularan dari penderita kusta tergantung kekebalan tubuh juga. Meski kusta ini penyakit menular, tetapi penderita kusta pun perlu mendapat perhatian dan dukungan.
Penyakit kusta bisa menyebabkan kecacatan, tetapi hal ini bisa bisa dicegah jika penderita kusta selalu memeriksakan tangan, mata, dan kaki.
Penderita perlu mengecek apakah ada luka pada tangan, cek juga apakah matanya berkabut atau kaki mengalami mati rasa? Penderita juga perlu secepatnya berobat dan melakukan perawatan diri.
Jika ada luka pada kaki, perawatannya yaitu merendam dengan air, bersihkan, dioles dan dibalut. Lakukan perawatan ini secara teratur sampai luka bisa sembuh. Perlu juga terus berobat dan dilakukan monitoring untuk memantau kesehatan pasien.
Solusi yang dilakukan pemerintah Bone dalam rangka pemberantasan kusta yaitu dengan mengadakan penyuluhan di desa maupun sekolah. Selain itu mengajak masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan sesuai kondisi sekarang yang belum bebas dari pandemi.
Baca juga : Dampak Covid-19 dan cara meraih keseimbangan hidup
Kesetaraan disabilitas dalam bekerja dan berkarya
Kesetaraan disabilitas dalam Jawa Post, Ruang Publik KBR |
Dalam Talkshow tentang "Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah Pandemi" Bapak DR Rohman Budijanto, SH,MH. dari Direktur Eksekutif The Jawa Post Pro Otonomi JPIP Lembaga Nirlaba Jawa Pos yang bergerak di bidang otonomi daerah berbicara tentang isu inklusifitas tidak boleh diabaikan.
Dalam ruang intrinsik Jawa Post, isu inklusifitas ini memang tidak pernah secara spesifik dikampanyekan, namun pihak Jawa Pos sendiri tak pernah melakukan diskriminasi atau membeda-bedakan saat rekruitmen atau penerimaan kerja.
Pihak Jawa Post memberi ruang untuk bekerja dan berkarya. Jawa Post mempekerjakan difabel yang mengalami bibir sumbing menjadi editor yang kompeten, ada juga layouter yang kakinya cacat, alih bahasa yang badannya cebol. Semua itu bukan halangan bagi difabel untuk bekerja selama mereka memiliki kompetensi yang baik.
Stigma buruk bagi penderita kusta juga perlu diperbaiki. Sekecil apapun jumlah penderita kusta mereka tetap warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pengobatan, perhatian, bukan untuk dikucilkan.
Mereka bisa diajarkan berbagai keterampilan agar bisa tetap semangat untuk sembuh dan menjalani hidup lebih baik. Selain itu mereka juga bisa diajarkan untuk berbisnis online agar tidak khawatir bertemu dengan orang lain secara langsung.
Mari peduli terhadap kusta dengan hindari stigma negatif tentang mereka. Kusta juga bisa dicegah, diobati dan berpotensi untuk sembuh. Harapan Kita semua, semoga nantinya Indonesia akan benar-benar bebas dari kusta.
Salam,
Iya nih kalo dulu denger kusta aja takut, aplagi kalo orang tua bercerita dan memang stigma2 negatif di atas nempel dipikiranku.
ReplyDeleteWah, alhamdulilllah atuh ya kalo kusta bisa sembuh dan diobati, semoga mereka yang mengalaminya juga tetep semangat. Btw keren acaranya ya Liaa, membukakan wawasan kita semua soal kusta. Nuhuun .
Iya Teh Nchie, stigma tersebut emang udah melekat, ya. Kurang edukasi memang. Makanya harus ditingkatin lagi edukasi pada masyarakat.
DeleteSama-sama, semoga tulisan ini bermanfaat, ya
Sejak dulu kl mendengar yg namanya kusta memang agak serem ya. Ternyata lama sekali ya masa inkubasi penyakit ini bisa 20 sd 40 th dan tanpa kejala.
ReplyDeleteIya, Bun. Ini berhubungan sama Penyebabnya yaitu bakteri Mycobacterium Leprae yang bisa hidup lama dalam tubuh penderita. Penyakit ini menular seperti TBC yang Penyebabnya sama juga dari golongan Mycobacterium, cuman kalau TBC spesiesnya Mycobacterium Tuberculosis.
DeleteKUsta bisa dicegah , diobati dan berpotensi untuk smebuh....ini yang mesti terus disosialisasikan ya Mbak..Mengingat stigma penderita kusta masih negatif di mata masyarakat. Program yang menarik dan bermanfaat sekali dari KBR dan institusi terkait
ReplyDeleteBetul, Mba. Perlu ditingkatkan lagi edukasi terhadap masyarakat.
DeleteHebat dan salut untuk Jawa Post. Padahal banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan disabilitas. Tapi jawa post mau.
ReplyDeleteBetul Mba, The Jawa Post ngasih ruang buat para difabel bekerja dan berkarya asalkan mereka punya kompetensi yang baik.
DeleteTernyata Indonesia masih menjadi negara ke-3 terbesar untuk jumlah penderita kustanya ya. Semoga saja dengan edukasi seperti dalam acara daring dalam tulisan ini dan juga apa yang ditulis oelh Mbak Lia ini bisa menjadikan banyak orang lebih aware dam ;ebih paham.
ReplyDeleteBetul, Mba Niar. Masih tinggi kasusnya di Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat buat pembaca, ya.
DeleteSaat kecil dulu aku juga sempat takut dengan kusta Mam, akibat nonton film India saat SD. Tapi saat itu sepertinya stigma kusta masih kurang baik ya. Tugas kita untuk membantu edukasi bahwa kusta bisa diobati, terutama saat masih gejala awal.
ReplyDeleteNah, iya, India pun termasuk Salah satu negara dengan penyakit kusta terbesar di dunia. Memang edukasi tentang penyaki Kusta ini perlu digalakkan terhadap masyarakat biar stigma negatif engga berkembang
DeleteBaru tau kalau kasus kusta di Indonesia masih tinggi. Stigma terhadap penderita kusta masih negatif ya. Masih banyak yang dikucilkan dari masyarakat padahal sebenarnya sudah sembuh. Edukasi dibutuhkan bukan hanya ke penderita kusta tapi juga ke masyarakat umum.
ReplyDeleteBetul memang butuh edukasi lebih luas pada masyarakat.
Deletewah ini informasinya tentang bagaimana mengatasi, mencegah dan mengobati kusta, karena ini penyakit ya bukan aib
ReplyDeleteBetul Mba, setuju.
DeleteDulu ketika ikut almarhum ayah tugas ke kota kecil masih sekolah, cukup banyak penderita kusta yang mengalami kecacatan karena tidak mendapat pengobatan yang maksimal. Syukurlah kini penderita kusta sudah bisa diiobati asalkan disiplin dalam masa pengobatan. Semoga Indonesia bisa segera terbebas dari Kusta.
ReplyDeleteBetul, pengobatannya memang harus rutin dan terus menerus. Harapannya begitu juga Mba. Inginnya Indonesia bebas dari kusta
DeleteThanks mba udah sharing tentang penyakit kusta, memang belum terlalu banyak nih infonya. Dan aku baru tahu kalau tertularnya lewat percikan ludah yg terinfeksi.
ReplyDeleteIya Mba Nurul memang penularannya lewat percikan ludah penderita
DeleteDengan pemberian obat dan penanganan yang tepat, penyakit kusta ini sebenarnya bisa disembuhkan yaa..
ReplyDeleteSemoga edukasi yang benar bisa membuka wawasan masyarakat mengenai penyakit kusta bukan kutukan.
Iya Teh. Memang harus dilakukan edukasi yang lebih luas terhadap masyarakat
DeleteWaktu kecil dengar kata kusta itu kayaknya seram banget kayak lihat setan padahal bisa disembuhkan ya, dan stigma ini harus dihapuskan
ReplyDeleteSama Mba Dedew, bahkan karena menular jadi harus dijauhi. Memang stigma negatif ini sudah ada sejak dulu
DeleteIya, beberapa daerah di Indonesia belum bebas kusta. Semoga materi seperti ini membantu membangun kesadaran masyarakat tentang penyakit ini dan cara penanggulangannya
ReplyDeleteHarapannya begitu juga Mba Susi
Deletepenyakit kusta ini adalah penyakit yang sudah lama ada ya mbak
ReplyDeletemakanya perlu adanya kesadaran dalam berkolaborasi menghadapi penyakit ini
Kalau sudah kena mitos-mitos ya mbak.. Semua yang sebenernya bisa disembuhkan dan ditangani kayak Kusta ini, berubah jadi seperti penyakit sosial gitu. Kalau sekarang Corona, disaerah-daerah tertentu, cara memperlakukan penderita sama gak baiknya.. Webinar-webinar bermanfaat seperti ini, memang perlu kita sampaikan kepada orang banyak dengan menuliskannya di Blog. Semangat terus, Blogger ^^
ReplyDeleteAku pikir awalnya kusta pertama melihat mungkin karna Luka bakar atau apa gitu ya.. ternyata itu penyakit kulit .. mesti segera diobati mba... Dan seremny tertular melalui droplet
ReplyDeleteSaya kalau ingat penyakit kusta ini jadi ingat nabi Ayub. Masya Allah ya.. seandainya ilmu pengetahuan dan informasi tentang kusta mungkin tidak akan ada orang yang menghina beliau. Wallahu'alam
ReplyDeleteJadi ingat, dulu waktu kecil penyakit ini jadi momok. Ibuk saya sendiri kalau ada orang yang ia tahu kena kusta, pasti akan menyuruh saya menjauh.
ReplyDeleteTernyata kusta bisa disembuhkan, asalkan penangannya tidak terlambat dan pengobatannya tuntas ya..
ReplyDeletePengetahuan tentang kusta ini memang minim sih, di tengah masyarakat. Kalau pas ada yang kusta, jadi heboh, deh.
ReplyDeleteternyata kusta ini termasuk penyakit yang banyak diderita orang Indonesia ya mbak
ReplyDeletesayangnya stigma terhadap kusta masih tinggi
jadi perlu dilakukan edukasi tentang kusta terus menerus
Stigmatisasi kusta ini cukup memprihatinkan ya, jadi banyak orang yang nggak aware kalau masih ada penyakit kusta di Indonesia. Kupikir pun penyakit ini udah nggak ada kok di Indonesia. Kalau nggak karena informasi ini, selamanya aku mungkin nggak akan pernah tahu tentang keberadaan kusta di Indonesia. Sebagai blogger, tugas kita untuk ikut serta menghapus stigma kusta lewat artikel2 yang bermanfaat ya mbak, agar lebih banyak orang yang aware pada penyakit ini.
ReplyDeleteStigma seputar kusta memang kudu dihempasss ya Mba
ReplyDeleteKarena memang tdk sedikit orang yg tdk paham mengenai serba/i penyakit ini.
edukasi semacam ini harus terus gencar dilakoni
Stigma masyarakat itu sangat pedas memang terhadap OYMPK ini. Kita yang udah tahu maslaha sebenarnya semoga bisa menjadi hidayah untuk mereka sehingga mengerti dan tidak lagi mencap buruk OYMPK...
ReplyDeletesemoga kita semua selalu sehat ya kak.. saatnya kita lebih aware terhadap kesehatan kita dan keluarga..
ReplyDeleteDulu banget ada kerabat kena kusta. Akhirnya jatuhnya ke klenik. Akibat pengetahuan yg masih minim
ReplyDeleteTernyata peringkat ke 3 ya setelah india dan brazil. Seharusnya memang stigm negtif itu dihilangkan ya mbak agar masyarakat yg kena bisa dirangkul dan disembuhkan
ReplyDeleteDuh...masih ada ya yang menganggap Kusta adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan? Belum lagi masih beredar mitos seputar Kusta. Padahal, Kusta bisa disembuhkan ya mbak meskipun harus rutin berobat, semoga dengan webinar ini masyarakat akan semakin teredukasi tentang penyakit kusta.
ReplyDeleteDi masyarakat masih ada kok yang percaya mitos seputar penyakit kusta, padahal kusta setelah aku baca di artikel ini bisa disembuhkan asalkan rutin berobat. Namun memang seseorang dengan imunitas yang rendah rentan mengalami penyakit kusta ya mbak. Wah...semoga dengan webinar ini akan semakin banyak masyarakat yang teredukasi.
ReplyDeletememang ya selama ini kita punya pandangan negatif sama penderita kusta, termasuk aku. kupikir kusta ini penyakit yang cepat menular lewat sentuhan ternyata lewat droplet dan menularnya juga perlu waktu
ReplyDeleteBagus ya Jawa Post, tidak membeda2kan calon karyawan. Semua bisa masuk asal memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Inklusivitas seperti ini harusnya bisa diterapkan ke semua lini kehidupan.
ReplyDeleteProgram KBR ini keren deh jadi edukatif buat masyarakat yang selama ini memang belum masih lengket dengan stigma negatif. harapannya dengan sebanyak mungkin diedukasi, lebih banyak yang dapat diobati lebih cepat ya supaya ga nyebarluas.
ReplyDeleteKu kira penyakit kusta udah nggak ada di jaman sekarang, ternyata di beberapa daerah seperti Kabupaten Bone masih ada. Semoga penyakit kusta ini segera teratasi dan Indonesia bebas kusta, aamiin.
ReplyDeleteDisabilitasnya itu kan hanya efek dari akibat menderita kusta ya. Jika kustanya sudah sembuh toh tidak akan menularkan apapun. Salut saya dengan Jawa Pos yang melihat seorang karyawan dari potensinya, tanpa mempermasalahkan bentuk fisik.
ReplyDeletePenyakit kusta identik dengan penyakit menyeramkan sehingga banyak yang menjauhi penderita ya..akibatnya banyak yang kurang mendapat pengobatan maksimal si penderitanya
ReplyDeleteGak bisa dipungkiri kalau kusta ini banyak sekali mitos yang mengelilinginya.
ReplyDeleteKarena penyakitnya sendiri sudah lama sekali yaa..
Semoga dengan edukasi yang benar dan blogger yang menuliskan dengan rapih seperti ini, banyak yang bisa memahami apa itu kusta dan cara penanganannya yang benar.
Harus di edukasi terus biar kita melakukan pencegahan, dan tau gimana penanganannya, semoga selalu terhindar dr penyakit kusta
ReplyDeleteSaya kira Kusta itu udah nggak ada lagi di Indonesia, lho, Mbak. Ternyata malah Indonesia jadi negara ketiga penderita kusta di dunia ya huhuhu. Semoga dengan edukasi yang baik penderita kusta mendapatkan penanganan yang tepat dan nggak dikucilkan.
ReplyDeleteIya Mba, nyatanya Indonesia belum bebas dari penyakit ini
DeleteJadi ingat di makassar penderita kusta banyak yang jadi pengemis. Kasian sih stigma bagi penderita kusta masih negatif
ReplyDeleteDuh, sedih nih Mba Nunu. Kasian ya penderita kusta
DeleteSemoga kita semua tethindar dr penyakit berbahaya ya penderita kusta semoga selalu semangat proses pengobatan dan penyembuhan
ReplyDelete