Bertahan atau Melepaskan? ilustrasi dari frepik.com dan canva.com |
Saat dihadapkan pada sebuah pilihan, bertahan atau melepaskan? Ketika dilema di antara dua pilihan, jalan mana yang akan dipilih? Sudah seyakin apakah keputusan yang akan diambil.
Melihat kasus di sekeliling kita, meski sudah berlalu kasusnya, saya atau mungkin orang lain menyayangkan keputusan penyanyi "Kejora" yang mencabut gugatan kekerasan terhadap suaminya lalu kembali ke sisinya.
Meski keputusan itu adalah hak prerogative Kejora karena itu adalah hidupnya dan dia juga yang akan menjalani pernikahannya. Istilahnya hidup dia, kan dia sendiri yang menjalani. Dia yang bahagia atau terluka hanya dirinya sendirilah yang merasakan.
Jujur saja, jika saya yang ada di posisinya dia mungkin untuk mencabut gugatan, saya akan lakukan sekitar sebulan saja setelah itu saya akan menggugat cerai aktor RB karena saya menghargai diri saya dan tidak ingin terluka kembali dengan kekerasan yang mungkin bisa terjadi di kemudian hari. Mengubah sikap atau sifat seseorang itu sulit, apalagi sudah mendarah daging.
Bertahan atau melepaskan? Ketika berada di persimpangan
Dalam sebuah hubungan atau relationship, tak selamanya berbuah manis. Luka itu siapakah yang memulainya? Kedua belah pihak bisa saja saling terluka satu sama lain karena tanpa disadari salah satu atau kedua pasangan sudah tak sekalian lagi.
Berada dalam relationship yang tidak sehat, membuat dihadapkan ke dalam sebuah pilihan yaitu menerima atau melepaskan. Suatu hubungan yang dimulai dengan kebahagiaan belum tentu bisa terus langgeng.
Ada kalanya pilihan berpisah diambil sebagai solusi ketika bersama hanya menyisakan luka. Siapakah yang membuat luka itu menganga? Tanpa disadari seseorang terluka karena ekspektasinya sendiri. Kecewa saat harapannya tak sesuai dengan kenyataan.
Hanya seseorang yang berhati sangat luas mau menerima dan kembali memaafkan pasangannya. Dalam kasus KDRT, efeknya bisa dirasakan juga oleh anak terutama efek psikologis KDRT terhadap anak.
Dengan dalih pertimbangan anak, Kejora mencabut gugatan dan kembali membina rumah tangga dengan RB. Meski saya lihat sosok RB tampak datar-datar saja ketika bersama istri yang segitu sabar dan baiknya mau menerima dia kembali.
Bisa saja rasa yang ada diantara mereka berdua sudah tak lagi sama. Ketika satu pihak ingin bertahan dan pihak lainnya seperti yang terpaksa, jujur saya nggak mau berprediksi terlalu jauh.
Masalah jodoh itu memang harus diupayakan, tapi ini berkaitan juga dengan takdir atau ketentuan dari-Nya. Tuhan mungkin masih memberikan mereka waktu dan kesempatan untuk bersama atau memperbaiki diri.
Kita nggak pernah tahu kapan hidayah itu datang, siapa tahu suatu saat nanti pasangan Kejora ini bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi. Kita nggak pernah tahu rencana-Nya seperti apa.
Meski banyak yang menyayangkan keputusan Kejora untuk bersama lagi, sekali lagi itu adalah hak prerogative dirinya. Sebagai orang luar memang Kita hanya bisa menilai saja, karena hidup dia yang menjalani.
Meski seluruh Indonesia menentang agar tak bersama lagi, tapi keputusan Kejora untuk bertahan pastilah dengan berbagai pertimbangan dan sekali lagi itu adalah halnya dia menentukan jalan hidupnya mau dibawa ke arah mana.
Hidup ini penuh pilihan, pilihlah dengan bijak
Aku mencintaimu, biarlah, ini urusanku. Bagaimana kamu kepadaku, terserah, itu urusanmu.” (Quote Dillan 1991)
Mendadak saya jadi teringat quote Dillan nih. Buat yang lagi bucin sepertinya quote ini mewakili perasaannya. Jadi yang saya pikirkan seseorang memilih kembali pada pasangannya, faktor utamanya karena masih ada perasaan cinta.
Cinta yang begitu besar sampai bisa terus berprasangka baik agar suatu saat perasaannya bisa saling tertaut satu sama lain. Selalu ada pilihan hidup yang bisa diambil. Buatlah keputusan yang bijak.
Mungkin ya, di balik alasan anak perasaan cinta masih mendominasi ketika seseorang memutuskan kembali pada pasangannya setelah disakiti, terutama KDRT.
Hanya saja menurut saya justru untuk kasus kekerasan jika terjadi pada wanita dan keadaan psikisnya terganggu justru anaklah yang kasihan. Bisa jadi dia mendapatkan pelampiasan kemarahan ibunya saat bermasalah dengan suaminya. Itulah Salah satu diantara banyak alasan kenapa wanita rentan depresi.
Hidup ini pilihan, banyak kasus perempuan yang memilih melepaskan diri dari belenggu atau memilih melepaskan dibandingkan harus bertahan tapi memendam luka.
Banyak juga perempuan yang setelah memilih melepaskan atau berpisah dia jadi lebih bersinar meski Ada juga yang terpuruk karena keadaan finansial yang asalnya disokong suaminya kini dia harus berdiri sendiri.
Ternyata memang perempuan itu perlu mengasah kemampuan atau keterampilannya. Bukan maksudnya mendiskreditkan full time IRT ya, saya nggak ingin ada perdebatan antara Full Time Mom Vs Working Mom.
Saya menyatakan ini hanya jaga-jaga saja ketika saatnya pasangan meninggalkan perempuan baik dipisahkan karena kematian atau berpisah, sang perempuan bisa berdikari atau mandiri.
Pernikahan tak selamanya indah, ada banyak pasangan yang memilih berpisah setelah sekian lama bertahan dalam hubungan yang toksik atau menjalani toxic relationship.
Pada akhirnya Kita tak bisa bergantung pada siapa pun kecuali diri sendiri dan Tuhan pastinya. Jadi menurut saya, seorang perempuan perlu mengasah skill atau passionnya sendiri. Bisa di bidang memasak, menjahit, berniaga atau menekuni hobi yang bisa menghasilkan seperti passion menulis salah satu contohnya.
Setelah menikah saya juga memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya di laboratorium klinik. Pengalaman bekerja di Lab Klinik selama hampir Lima tahun memberikan banyak cerita. Setelah punya anak, saya mencoba peruntungan lain seperti berjualan daster, batik, mukena sampai kosmetik, sampai akhirnya saya nyaman menjadi blogger dan bersyukur bisa mengasah skill menulis dan bisa punya bonus alias tambahan penghasilan dari sini.
Menjadi momblogger itu penuh dengan tantangan, karena ngeblog juga butuh fokus, jangan sampai lalai terhadap anak dan kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan psikis anak untuk ditemani, didengarkan dan diberikan rasa nyaman. Home education itu penting untuk anak, salah satunya dengan menemani anak bermain dan melekatkan bonding satu sama lain.
Ketika dilema dengan dua pilihan, bertahan atau melepaskan pilihlah secara bijak. Hidup ini adalah pilihan. Pilihlah dengan bijak mana jalan yang akan ditempuh. Pastikan melibatkan Tuhan untuk meminta petunjuk agar tidak salah langkah ke depannya. Setuju, kan, Sahabat Catatan Leannie?
Salam,
Bener sekali. Saya selalu punya prinsip jika hidup bagaikan main catur. Semua langkah punya konsekuensi.
ReplyDeletesama-sama ada plus minusnya sih
ReplyDeleteTapi saya anjurkan bertahan jika pasangan mau berubah
Saya punya adik laki-laki temperamental kaya RB
bahtera pernikahan mereka membaik dan langgeng 20 tahunan karena adik saya mau berubah, istrinya mau bertahan dan mendampingi
Kalau udah ngomongin hati, emang sulit sih :D
ReplyDeleteApalagi ngomongin bertahan dan berpisah dalam sebuah hubungan pernikahan.
Dampak KDRT memang berat buat anak, tapi banyak juga dampak negatif anak-anak korban perceraian.
Namanya dunia, nggak ada yang benar-benar sempurna, semua ada plus minusnya.
Anak-anak yang dibesarkan oleh ortu yang bertahan meski terlihat rumah tangganya nggak bahagia, mungkin akan membawa luka batin akibat kekerasan yang dia lihat, tapi sisi positifnya, anak-anak demikian, tumbuh jadi anak yang kuat dan gigih dalam berjuang.
Sementara anak-anak yang tumbuh dari ortu yang memutuskan sesuatu dengan cepat berpisah, akan tumbuh jadi sosok yang tidak perlu mengalami trauma kekerasan, tapi pasti punya sisi negatif lainnya.
Karenanya, nggak ada yang benar-benar baik.
Dan apapun alasan setiap orang, semua pastinya didasarkan dengan kondisi dan kemampuannya :)
Manusia diberikan akal setinggi-tingginya dari Allah SWT untuk melakukan banyak hal baik di dunia. Tapi terkadang manusia hanya menggunakan rasa/perasaan lebih dulu ketimbang akal/logika untuk memutuskan atau mengerjakan sesuatu. Bahkan untuk hal yang sensitif sekalipun, seringnya akal dan logika ditaruh di bagian belakang. Seperti halnya kasus yang menimpa Kejora ini.
ReplyDeleteBanyak sekali publik yang menyayangkan keputusannya. Karena seperti yang sering dilihat, masalah karakter adalah DNA seseorang sejak dia lahir. Seperti halnya karakter buruk nyatanya hanya bisa dikurangi tapi tidak akan hilang begitu saja. Dan Kejora sepertinya lupa bahwa luka hati yang sudah terjadi, di satu saat akan muncul menganga tanpa dia sadari. Seperti halnya dinding yang sudah dipaku. Saat paku itu dilepas, bekas di dindingnya itu tak akan kembali seperti semula, meski ditambal dengan apapun dan sebaik apapun.
Segala sesuatu itu, pasti ada pro dan kontranya, ya. termasuk keputusan Kejora. Kebetulan Kejora publik figur, jadi opini yang beredar memang beragam.
ReplyDeleteNamun memang kembali keputusan pada Kejora dan pasangan. Apapun keputusan yang diambil Kejora, akan dia rasakan kelak. Waktu yang akan menjawab semuanya.
Meski aku menyesalkan keputusan Kejora tapi aku menghormati pilihannya, dia yang jalani dan tahu yang terbaik
ReplyDeleteTapi berkaca pada pengalaman, kakak kandungku korban KDRT dan itu berulang, hingga 20 tahun bertahan baru punya kekuatan melepaskan. Kini dia lebih bahagia dengan pilihannya
Endingnya aku suka, teh..
ReplyDeleteMemang benar bahwa setiap keputusan hendaknya melibatkan Allah agar lebih mantap dalam mengambil keputusan. Karena kita gak pernah tau apa yang akan terjadi di depan dan semoga keputusan apapun itu bisa membuat kedua belah pihak sama-sama introspeksi dan menemukan kebahagiaan kemudian.
setiap wanita terutama ibu, pasti punya pertimbangan khusus ketika hendak mengambil keputusan terutama itu yang berhubungan dengan anak-anaknya. Tapi walau begitu, kesehatan mental ibulah yang paling penting karena dengan mental yang sehat seorang ibu akan mampu merawat anak-anaknya dengan baik
ReplyDeleteTetap semangat selalu Teh dan melibatkan Allah dalam setiap hal, agar hati lebih tenang dalam menjalankannya, dan tawakal setelahnya
ReplyDeleteSetuju banget. Saat menentukan pilihan, kita juga nggak perlu takut dengan gimana pandangan orang juga ya, Kak. Karena benar kata kakak. Bahwa hidup ini adalah hak prerogative kita sendiri. Mau gimana menjalaninya. Orang lain hanya pengamat yang hanya bisa melihat dari luar. Nggak bisa mengintip ke dalam kecuali kita yang membisikkan. Bisikan pun kadang nggak selalu seperti apa yang sebenarnya terjadi. Kadang ada penambahan dan pengurangan. Bergantung dari gimana orang yang membisikkan ingin orang lain menanggapi suatu peristiwa.
ReplyDeleteAku juga salah satu yang menyayanhkan keputusan kejora untuk kembali dan memaafkan tindak KDRT suaminya. Juga sempat mengulasnya di blog ku. Tapi setelah lama waktu berlalu, sepertinya kehidupan Kejora sekarang baik-baik saja. Semoga insiden itu benar-benar memberi efek jera ke suaminya dan tidak akan terulang lagi. Mungkin itu adalah buah kesabaran Kejora. Kita orang asing hanya menyaksikan saja dari layar tv. hehe
ReplyDeleteBelajar untuk bertahan dan melepaskan ini bak tarik ulur dalam kehidupan yang cukup merenggut banyak perasaan, logika dan poin utamanya adalah keikhlasan. Bukan hal mudah tapi itulah kehidupan, selalu ada ujian
ReplyDeleteBagiku toxic relationship harus dijauhi. Apalagi perkara KDRT, biasanya gak akan cukup satu kali. Pasti akan terjadi berulang lagi. Hanya perempuan yang benar-benar kuat bisa bertahan. Sebagian besar lebih memilih melepaskan.
ReplyDelete